Type Here to Get Search Results !

Inkonsistensi UUPK Terhadap BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh : Berliana Monica, S.H (Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas)

 Inkonsistensi UUPK Terhadap BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen

Oleh : Berliana Monica, S.H (Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas)



SKJENIUS TIME LINE ,Sumbar ---Kehadiran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) dikehendaki menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintahan dan lembaga perlindungan konsumen untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen, meskipun sebelum terbitnya UUPK beberapa pengaturan tentang perlindungan konsumen telah ada yang mencakup di berbagai bidang hukum.


Dalam perlindungan konsumen, pokok utama pengaturannya adalah pada kesetaraan antara konsumen dan pelaku usaha. Keberadaan pelaku usaha baru memiliki arti apabila terdapat keberadaan konsumen, hal ini merupakan konsekuensi logis dalam pengaturan di bidang usaha, yaitu hak berusaha yang sama bagi setiap orang dan kepentingan konsumen merupakan tujuan akhir. 


Namun pada kenyataannya kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang, bahkan konsumen sering berada pada posisi yang lemah.Faktor inilah yang menyebabkan timbulnya sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.


Penyelesaian sengketa dalam mempertahankan hak-hak konsumen diatur pada Pasal 45 UUPK, yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 


Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang tugas dan wewenangnya meliputi pelaksanaan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi, serta dapat menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar larangan￾larangan tertentu.


BPSK dibentuk oleh pemerintah di daerah Tingkat II (kabupaten/kota). Lahirnya BPSK ini sebagai bentuk respon atas tidak efektifnya badan peradilan dalam menjalankan tugasnya dengan harapan penyelesaian sengketa konsumen yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.


Putusan BPSK pada Pasal 54 ayat (3) UUPK mengatakan bahwa “Keputusan BPSK bersifat final dan mengikat”, yang menegaskan BPSK memiliki kedudukan yang sejajar dengan  lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa, sehingga badan ini memiliki kompetensi yang harus diakui dan dihormati oleh lembaga peradilan lainnya. 


Namun, hal ini menjadi kontradiktif dengan Pasal 56 ayat (2) UUPK yang menyatakan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK.


Pelaku usaha yang tidak puas terhadap putusan BPSK cenderung melanjutkan perkaranya ke Pengadilan, bahkan ke Mahkamah Agung sehingga keberadaan BPSK sebagai lembaga small claim court yang menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, tidak formal dan biaya murah tidak tercapai. 


Hal ini berdampak pada banyaknya putusan BPSK yang dibatalkan oleh pengadilan terutama Mahkamah Agung karena putusan BPSK dianggap melampaui kewenangan yang diberikan oleh UUPK. 


Berdasarkan dari putusan Mahkamah Agung, majelis kasasi telah menganulir 30 putusan BPSK sepanjang dua tahun terakhir. 


Alasan Mahkamah Agung membatalkan putusan BPSK umumnya mengatakan bahwa  BPSK tidak berkewanangan dalam memberi putusan dalam penyelesaian sengketa konsumen.


Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan, namun UUPK tidak menyediakan peraturan lebih rinci berkaitan dengan hal tersebut. 


Pelaksanaan putusan arbitrase diserahkan dan menjadi wewenang penuh dari Pengadilan Negeri yang menjalankan fungsi kehakiman dan mempunyai legitimasi sabagai lembaga pemaksa. 


Pasal 57 UUPK menjelaskan bahwa putusan majelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugikan. Kemudian diperjelas dengan Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 bahwa pihak yang mengajukan eksekusi adalah BPSK.


Pada putusan arbitrase BPSK, terdapat kendala dalam pelaksanaan permohonan eksekusi yang disebabkan tidak adanya pencantuman irah-irah pada putusan arbitrase BPSK tersebut. 


Pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut sehingga penghapusan irah-irah mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. 


Dengan lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2006 yang dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan UUPK dalam mengatur hukum acara di pengadilan negeri untuk mengajukan keberatan terhadap putusan.


BPSK dan untuk kelancaran pemeriksaan keberatan terhadap putusan BPSK. Terdapat pada Pasal 7 ayat (1) yang menegaskan bahwa “pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permintaan pihak yang berperkara (konsumen) atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan”, dapat mendorong kinerja BPSK yang lebih baik. 

Tetapi ketentuan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2006 sebenarnya tidak bisa dijadikan dasar hukum atau pegangan dalam menjelaskan pihak mana yang berhak mengajukan eksekusi, disebabkan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 57 jo. Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 


Menurut asas hukum yang berlaku yaitu lex superior legi imperior, PERMA No. 1 Tahun 2006 tidak bisa dijadikan dasar ketentuan yang lebih tinggi mengalahkan ketentuan yang lebih rendah, maka dengan dikalahkan oleh aturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 57 UUPK. 


BPSK merupakan garda terdepan dalam penyelesaian sengketa konsumen, namun dalam pelaksanaannya BPSK menghadapi kendala strategis berupa lemahnya regulasi.Sehingga BPSK tidak dapat berperan secara optimal.


Pemerintah perlu melakukan beberapa upaya untuk memperkuat BPSK, antara lain dengan mempertegas ketentuan yang mewajibkan putusan BPSK dan memberlakukan kewenangan eksekutorial terbatas pada sengketa konsumen sederhana, sedangkan sengketa konsumen yang kompleks sebaiknya diselesaikan melalui  PN. (**)